Senin, 28 September 2020

TIPS PENTING FAKTOR PENYEBAB ASITES PADA BURUNG PUYUH

TIPS PENTING FAKTOR PENYEBAB ASITES
PADA BURUNG PUYUH PETELUR

Asites pada burung puyuh merupakan timbunan cairan limfe dalam ruang peritoneum (rongga dalam perut) yang menimbulkan abdomen (perut) burung puyuh membesar. Asites menjadi kompleks akibat berbagai macam faktor, sebenarnya Asites bukanlah suatu penyakit, melainkan gejala yang timbul akibat faktor pendukungnya. Faktor-faktor tersebut meliputi genetik, lingkungan, nutrisi dan manajemen. Asites sendiri memiliki sebutan lain, seperti Pulmonary Arterial Hypertension (PAH) Syndrome atau Pulmonary Hypertension Syndrome (PHS).
Secara Genetik, para ahli menyebutkan bahwa peternakan burung puyuh terutama pejantan, telah diseleksi secara ketat untuk dapat tumbuh cepat dengan nilai Feed Conversion Ratio (FCR) rendah yang justru mendukung timbulnya Asites. Berbeda dengan burung puyuh yang masih memiliki FCR tinggi dan daya tumbuh lambat, potensi mengalami asites lebih rendah. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan metabolisme yang tinggi dan itu menuntut kebutuhan oksigen yang tinggi pula. Jika kebutuhan oksigen tidak tercapai dalam darah akan memacu terbentuknya asites. Kemampuan penerimaan oksigen oleh tubuh dipengaruhi oleh kemampuan jantung dalam memompa aliran darah ke pulmo. Parameter genetik yang dapat dilihat yaitu ukuran jantung (berat ventrikel kanan terhadap berat keseluruhan ventrikel) dengan kapasitas pulmo dalam pertukaran oksigen dengan karbondioksida. Tidak seperti pada mamalia, pulmo pada broiler membatasi kapasitas vaskulernya, sehingga rentan terjadi pulmonary hypertension. Jika jantung mengalirkan lebih banyak darah, vaskuler dalam pulmo akan membesar, namun kemampuan pertukaran O2 dengan CO2 menjadi lebih rendah menyebabkan darah yang keluar dari pulmo mengandung sedikit O2 (hypoxemia) dan banyak CO2 (hypercapnia), sehingga memacu terjadinya pulmonary hypertension.
Penimbunan cairan sering ditemui dalam rongga ventral hepato-peritoneal, kantung perikardium, dan rongga dalam peritonium intestinal. Metabolisme broiler yang lebih cepat menyebabkan kerja jantung lebih berat, sehingga menimbulkan hipertrofi (ukuran sel membesar) ventrikel kanan, dilatasi (pelebaran ruang ventrikel) dan kegagalan ventrikel kanan (right ventricular failure/RVF). RVF dapat meningkatkan tekanan vena di jalur keluar duktus thorakalis yang dapat mengganggu drainase limfe menuju vena cava.

Dibandingkan dengan mamalia, unggas memiliki konsentrasi protein plasma yang rendah. Pada DOC jumlah protein plasma dan albumin plasma lebih rendah daripada ayam dewasa, namun berbeda dengan kasus asites. Protein plasma menurun akibat dari RVF yang mengakibatkan perubahan pada oncotic pressure (mirip dengan osmotik tetapi memiliki efek koloidal). Oncotic pressure adalah sebuah tekanan osmotik oleh protein, terutama albumin. Dalam plasma darah, oncotic pressure akan menarik keluar air dari sirkulasi. Akibat dari kenaikan tekanan intravaskular tersebut akan tampak lebih jelas pada hati karena sistem sinusoidnya mempermudah protein dalam darah untuk berpenetrasi keluar sirkulasi. Letak hati yang berada di rongga perut menimbulkan oedema (kebengkakan akibat timbunan cairan) hati yang memudahkan terbentuknya asites.

Faktor nutrisi juga berperan dalam pembentukan asites. Pertumbuhan broiler yang cepat berkaitan erat dengan nutrisi yang diterimanya dan cara pemberiannya. Disebutkan kembali oleh Julian (1993), kejadian asites dapat dikurangi jika menurunkan pertumbuhan broiler. Pemberian jumlah pakan yang disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan ayam akan mempercepat metabolismenya, sehingga perlu dibatasi. Pembatasan jumlah pakan akan menurunkan pertumbuhan ayam, sehingga kejadian asites menurun, namun di sisi lain juga akan berefek pada penurunan nutrisi, pigmentasi dan massa otot. Menurunkan konsentrasi nutrisi juga menurunkan pertumbuhan ayam. Tetapi jika nutrisi dalam pakan imbang dengan energi yang dibutuhkan ayam, maka efek dari kekurangan nutrisi pada pertumbuhan ayam tidak akan terjadi. Bentuk pakan yang diberikan dalam bentuk pelet cenderung lebih berpotensi menimbulkan asites karena mudah dimakan dan dicerna serta mengandung protein tinggi. Protein yang dipecah oleh tubuh membutuhkan oksigen dalam jumlah besar, sehingga jumlah protein yang tinggi dalam tubuh harus dipecah oleh oksigen untuk dijadikan energi dan mengeluarkan hasil metabolismenya. Jika oksigen banyak digunakan untuk metabolisme protein, maka sel-sel di organ lain akan mengalami hipoksia yang dapat memicu timbulnya asites.
Kondisi pulmo dapat menurun akibat infeksi E. coli maupun Aspergillus sp. karena adanya kerusakan di berbagai jaringan pulmo. Kapasitas pulmo yang terbatas akan semakin menurunkan jumlah oksigen yang dapat terdistribusi akibat infeksi tersebut diikuti dengan gagal jantung karena terjadi hipertropi dan dilatasi ventrikel. Gagal jantung tersebut menimbulkan gangguan drainase limfe sehingga cairan dari pembuluh darah sulit kembali melalui pembuluh limfe dan terbentuklah akumulasi cairan dalam peritoneum/asites. Agen infeksi lain dapat berupa mikotoksin, Clostridium perfringens maupun tumor yang menyerang hati.

Gejala klinis dari asites dapat berupa depresi, kurang lincah/lamban, malas bergerak, sulit bernafas, perut menggembung, gelisah, bulu kasar, sianosis (warna kebiruan) pada kulit daerah kepala, jengger mengerut, kulit abdomen tampak kemerahan hingga kecoklatan dan dapat terjadi kematian mendadak. Akumulasi cairan dalam abdomen dapat berwarna jernih/transparan, kekuningan/kecoklatan, maupun bercampur dengan fibrin. Pada kejadian infeksius, cairan asites dapat berwarna keruh abu-abu hingga kehijau-hijauan dan berbau busuk. Sedangkan pada kasus non-infeksius, cairan berwarna jernih dan tidak berbau.
Gambaran patologi anatomi kasus asites tampak pada hati yang membengkak, tertutup oleh fibrin keabu-abuan, dapat terlihat irregular (tidak beraturan) karena mengerut, terdapat noduler dan mengeras. Perubahan yang terjadi pada jantung berupa hidroperikardium, terkadang perikarditis, dapat pula pericardium yang melekat pada jantung.

Asites yang terjadi pada DOC atau pada minggu pertama merupakan akibat dari kesalahan manajemen hatchery. Bahadoran et.al. (2010) menyebutkan bahwa telur menetas lebih cepat pada kondisi karbondioksida lebih tinggi dari normal di dalam hatchery. Selain itu, letak hatchery pada dataran tinggi juga membuat telur cepat menetas dan memiliki tingkat kejadian asites lebih rendah daripada letak hatchery di dataran rendah. Pertukaran O2 dan CO2 memiliki peran penting dalam pembentukan embrio selama inkubasi. Dalam keadaan hipoksia, konsentrasi kortikosteroid juga meningkat. Kortikosteroid berfungsi dalam merubah bentuk allantoic ke respirasi pulmonary dan berperan dalam lamanya proses inkubasi. Kortikosteroid diperlukan untuk perubahan T4 ke T3 selama prenatal. T3 yang hadir lebih awal akan membuat penetasan lebih awal. Hipoksia dapat terjadi pada telur akibat dari perubahan tekanan oksigen dan karbondioksida dalam telur dengan ruangan inkubasi, terutama selama akhir masa inkubasi. Efek dari CO2 yang meningkat akan menurunkan pH albumen sehingga memecah membran chalaziferous yang mengakibatkan lama inkubasi menurun. Dalam hal ini, kondisi hipoksia yang terjadi selama masa embrionik mampu mengontrol tegangan permukaan cairan di pulmonary dan meningkatkan pertukaran gas sehingga menurunkan kerentanan terhadap pulmonary hypertension dan asites.

Jika asites muncul pada umur minggu kedua dapat diakibatkan oleh kegagalan manajemen brooding karena ayam kedinginan dan kekurangan oksigen. Bila hal tersebut terjadi, maka segera lakukan pemeriksaan terhadap brooder (alat pemanas), kualitas sekam, aliran udara dan kepadatan. Perhatikan pula keadaan cuaca dan  masa brooding turut menjadi faktor yang ikut berperan untuk kesiapan tubuh ayam dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Sebisa mungkin hindari adanya kontaminasi dari Aspergillus sp. dan infeksi akibat bakterial sedini mungkin agar kerugian peternak tidak terlalu besar. Hal utama dari penanggulangan asites yaitu pengendalian dan pencegahan, sedangkan untuk pengobatan tidak ada yang spesifik. Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri. 

Demikian Penjelasan singkat tentang Asites Yang sering terjadi pada budidaya burung puyuh petelur,  ini semoga bermanfaat

Saung Ternak Indonesia
Hanief Miftahul Huda
D/a : Jl. K Mustajib RT 001/002 Kel Kunir Kec Dempet
Kab Demak Jawa Tengah 59573

Kontak Person


Sumber Referensi : 
https://temanc.rakarsa.com/berita/faktor-penyebab-asites-pada-ayam
Bahadoran, S., Hassanzadeh, M., dan Zamanimoghaddam, A. 2010. Effect of hronic hypoxia during the early stage of incubation on prenatal and postnatal parameters related to ascites syndrome in broiler chickens. Iranian Journal of Veterinary Research, Shiraz University, Vol. 11, No. 1, Ser. No. 30.
Julian, Richard D. 1990. The Influence of Genetics on Right Heart Failure and Ascites in Poultry caused by The Pulmonary Hypertension Syndrome. Presented at The National Breeders Roundtable. 1993. Ascites in Poultry. Avian Pathology 22, 419-454.
Tarmudji. 2005. Asites pada Ayam Pedaging. WARTAZOA Vol. 15 No. I.
Wideman, R.F., Rhoads, D. D., Erf, G. F. dan Anthony, N. B. 2013. Pulmonary arterial hypertension (ascites syndrome) in broiler: A review. Departemenr of Poultry Science, and Department of Biological Sciences, University of Arkansas.

0 Comments:

Posting Komentar